Kamis, 24 Februari 2011

SUDAHKAH KITA BERIMAN

Sudahkah kita beriman?
Hamid Ja’far el-Qadri
pernahkah kita mengalami suatu perasaan yang bergejolak dalam jiwa kita? yaitu pertentangan antara tuntutan akal dan dorongan jiwa. Kadangkala seseorang melakukan suatu pekerjaan padahal fikirannya mengatakan itu salah, kita pernah melihat seseorang yang punya penyakit batuk atau flu, tetapi dia dengan santainya meneguk air es yang bercampur dengan gula manis. Akal orang yang melihat dan akal dia menyadari bahwa semua itu akan menambah penyakitnya.
Itulah bukti bahwa dalam diri manusia terdapat akal dan jiwa yang kadang bertentangan satu dan lainnya. Dari dasar itulah para ulama sepakat dalam mendefinisikan tarbiyah ( pendidikan) bahwa tarbiyah adalah: menundukkan jiwa terhadap ketetapan akal sehingga jiwa seseorang mau dengan suka rela terhadap ketetapan akalnya.
Orang Barat terutama para orentalisnya sangat menyakini dan membenarkan akan ajaran-ajaran Islam. Hanya saja hati dan jiwa mereka tidak mau menerima akan semua itu, dengan dasar gengsi, sombong, munafik dan semacamnya. Kita tidak sedang membicarakan musuh ini, semua itu hanya sebagai contoh saja. Sebab renungan kita saat ini adalah bagaimana memfungsikan akal dan hati kita dengan baik.
Kalau kita punya dua teman yang dekat dengan kita akan tetapi satu di antara yang lain memilih jalur yang berbeda dengan kita, sehingga tinggal seorang yang bersama dengan kita, yang satu ini memilih jalan kebaikan sedang kita dan teman kita masih dalam keburukan, hingga selalu bersama dan sangat akrab karena masih satu jalan. Di suatu hari kedua teman ini sama-sama mengajukan lamaran untuk mempersunting adik kita, kira-kira siapa yang kita pilih? teman setia tapi dalam keburukan atau dia yang baik meski tidak sejalan dengan kita? orang yang berakal tentu akan memilih yang baik. karena tidak ingin sang adik sengsara dengan keburukan temannya meski sangat akrab dengannya
Permasalahannya sekarang, kenapa dia tidak memilih memperbaiki diri seperti temannya itu? padahal dia menyadari itu adalah jalan yang benar. Itulah salah satu bentuk pertentangan akal dan jiwa. Ibnu Athaillah al-Iskandari berkata:
“Bila manisnya hawa nafsu telah tertanam dalam jiwa maka itu adalah penyakit yang tak bisa di sembuhkan”.
Kenapa tidak bisa disembuhkan meski akalnya mengatakan salah?
Dalam diri manusia ada dua unsur selain unsur jasmani yaitu akal dan jiwa yang keduanya dituntut iman kepada Allah, mungkin akal kita tidak bisa mengingkari akan adanya Allah akan tetapi apakah kita merasakan keagungan? mencintai serta takut padaNya?
Itulah sebabnya kita tidak cuma di tuntut mengembangkan akal akan tetapi hati dan ruh kita dituntut untuk dikembangkan dan dipupuk dalam keimanan kepada Allah, sehingga akal dan jiwa kita bersama-sama menuju Allah.
Suatu saat sahabat Rasulullah Saw berkata: “Marilah kita beriman kepada Allah sesaat”, apakah sahabat Rasul tidak beriman? mustahil sahabat Rasul tidak beriman, yang dimaksud dengan kata-kata itu adalah memupuk iman yang bersifat rohani, sebab iman yang ditimbulkan akal tidak akan pernah berkurang. Sedang iman yang bersifat rohani kadang bertambah, kadang berkurang dan berkurang, hadirnya kita ke majlis-majlis dzikir, membaca al-Quran dan memperbanyak shalawat adalah salah satu bentuk untuk memperkuat ruh kita.
Di sini ada cara lain yang dapat memperkuat ruh kita, yaitu mengagungkan nikmat Allah SWT, manusia cenderung senang dan cinta pada orang yang berbuat baik kepadanya.
Kalau kita senantiasa mengagungkan nikmat Allah SWT dalam setiap gerak-gerik kita niscaya akan tampak keagungan Allah dalam jiwa kita. Bayangkan di saat kita hendak tidur, di saat kita meletakkan punggung, betapa Allah memberikan nikmat yang besar pada kita, keletihan karena kerja seharian akan sirna karenanya, yang sebentar lagi kita akan terlelap dalam kenikmatan, setelah bangun, badan kita akan segar kembali oh... betapa nikmatnya semua itu. Setelah itu kita ke kamar mandi untuk membuang kotoran yang seandainya tidak terbuang akan menjadi penyakit pada badan kita, betapa nikmatnya semua itu? kemudian kita menyentuh air untuk membasuh badan, sudahkah kita membayangkan betapa nikmatnya air itu? makanan yang kita makan dan pakaian yang kita pakai adalah bukti akan nikmatnya air dan begitulah seterusnya di saat kita makan, minum, berjalan, tertawa dan berbaring sudahkah kita menyadari bahwa semua itu adalah kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT.
Kalau kita sudah menyadari betapa Allah SWT menyayangi kita melebihi rasa sayang kedua orang tua kita maka akan timbul benih-benih kasih cinta dalam jiwa kita. Sehingga iman kita terus bertambah dan meningkat.
Di penghujung lembaran ini saya ingin mengingatkan pembaca di akhir hayat kita, apabila sakaratul maut mulai menjemput, apakah kira-kira yang bermanfaat bagi kita? Kecerdasan, kekayaan, anak-istri, dan pangkat!! bisakah semua itu menjamin keselamatan kita?
Tentu tak ada yang lebih bermanfaat bagi kita selain rasa cinta kita kepada Allah SWT. Sudahkah kita mencintai-Nya? Wallahu muwafiq.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar