Kamis, 24 Februari 2011

INI AKU

Mungkin sebagian orang akan sinis memandang judul yang aku tulis ini, sebab kata AKU memang sarana yang enak untuk menekspresikan sifat egois seperti yang pernah dilakukan oleh iblis didepan Tuhan Maha Kuasa nan Perkasa “AKU lebih baik darinya Engkau jadikan AKU dari api sedangkan dia Kau jadikan dari Lumpur” kata AKU inilah yang menjadikan pintu pertama dalam sejarah pembangkangan pada Allah sejak alam diciptakan.
Aku juga punya guru yang sampai saat ini belum pernah kudengar kata-kata AKU dari mulutnya, mungkin guruku ini temasuk orang yang bermazhab anti AKU.
Bagi peneliti Tasawuf dan Filsafat kata AKU menjadi topik yang menarik dan terkesan sakral, sebab menurut mereka AKU mempunyai dua dimensi arti yang berbeda. Pikiran mereka segera tertuju pada AKUnya para sufi yang sedang mengalami ekstase dengan kaya-katanya “Aku Adalah Tuhan” AKU ini bukan AKUnya fir’aun, sebab AKUnya fir’aun masuk dalam katagori AKU yang pertama, tetapi yang aku maksud adalah AKUnya Al-Hallaj,Ibnu Arabi atau Ibnu Al-Farid, AKUini disebut dengan AKU Wahdatul Wujud, Ini satu dimensi.
Sedangkan dimensi yang lain adalah AKUnya Jalaluddin Ar-Rumi dam mayoritas sufi Hadramaut yaitu AKU yang menganggap alam semesta dan dirinya tiada, sehingga ia hanya melihat yang satu, AKU ini disebut AKU Wahdatu Syuhud. Islilah AKU ini yang di pinjam oleh Muhammad Iqbal dengan istilah Inkaru Dzat. AKU ini pula lambang ke-tawadzu-an dan kebersihan sebuah jiwa.
Sedangkan bagi teman-teman yang pernah mengenal aku, mungkin judul di atas dianggap sebagai nostalgia bagi seseorang seperti aku yang hendak mengungkapkan rasa rindunya pada handai tolan dan tanah air yang telah lama ia tinggalkan. Kata AKU dalam hal ini adalah ungkapan kerinduan bagi orang yang sedang berteriak mengenalkan dirinya didepan sahabat dan kekasihnya yang mulai melupakannya.
Atau mungkin ada yang menganggap bahwa aku sedang di mabuk cinta sehingga tidak bisa membedakan antara aku dan dia.
Padahal tidak sejauh itu AKU yang ku maksud, aku hanya ingin berbicara tentang AKU sebagai seorang santri, mengembalikan jati diri yang hilang. Sebab tidak sedikit para santi yang tidak bisa berkata “Ini Aku”, baik karena tidak memiliki kejelasan tujuan hidup atau karena terpana dengan kehidupan disekitarnya hingga dengan cepat dia terbawa arus.
Dalam Pemikiran, santri yang tidak bisa mengungkapkan kata AKU kalau yang dibahasakan agak kasar berarti kehilangan jati dirinya, adalah santri yang terpengaruh dengan budaya nunut alias mengekor. Padahal santri mempunyai akar yang kuat dalam pemikiran kesamaan dibandingkan dengan pelajar dari intuisi selain pesantren. Gara-gara itulah daya kritis dan jiwa produktif santri menjadi terpendam, oleh sebab itu Sayyid Abul Hasan An-Nadawi berkata mengenai seni dan sastra islam “Sesungguhnya sastra islam masih banyak yang belum terungkap dimana para intlektul islam di tuntut untuk menggali khazanah-khazanah yang terpendam itu” namun kalau para santri masih tidak mau produktif dan rela dengan budaya statis maka potensi besar yang dimiliki santri menjadi hilang begitu saja.
Di lain pihak ada beberapa santri yang latah dan terpana dengan kebudayaan barat, suatu yang bukan bidangnya digelutinya, ibarat burung elang yang hendak meniru cara kodok, keingginan untuk mendapat cap maju dan modern membuatnya kebablasan pada pemikiran liberal. bukti kehilangan jati dirinya adalah sifat fanatik pada pendapatnya dan selalu menutup telinga dari pihak lain meski terkadang belagak obyektif dan mengajak dialog. Lihatlah gerakan fundementalis liberal saat ini, bukanlah mayoritas mereka berbackground pesantren. Hal ini wajar karena pemikiran yang mereka kembangkan adalah pemikiran jiplakan yang di Timur Tengah sudah dianggab basi. Itulah hakikat kehilangan jati diri.
Sedangkan didalam sosial, masih banyak di temukan santri yang beranggapan bahwa posisi strategis keagamaan hanya akan diraih oleh para putra kiyai dan tokoh masyarakat. Disamping itu sebagian santri masih mengukur sebuah keberhasilan dengan simbol dan mazhar, kalau ada dari teman mereka menjadi kiyai, saudagar kaya atau pejabat, vonis sukses segera diputuskan kepadanya, sedangkan para santri yang menjadi petani, tukang ojek dan pedagang kaki lima dianggapnya sebagai santri-santri yang gagal, Subhanallah……..ini adalah hakikat matrealistis yang sejak awal musuh utama agama ini.
Santri sejati adalah santri yang berani berkata “Ini Aku” apa pun profesi dan status sosialnya, keberhasilan seseorang bukan pada profesi dan status sosialnya akan tetapi keberhasilan sesungguhnya adalah tercapainya tujuan hidup.
Dan hal ini tentu membutuhkan pemahaman yang benar terhadap diri dan arti hidup. Dari itu Dr.Muhammad Said Ramadhon Al-Buty berkata dalam bukunya Ad-din Wal Falsafah “Sudah bertahun-tahun kami mempelajari dan merenungi permasalahan musibah yang menimpa umat islam dan permasalahan itu sendiri sangat kompleks sehingga kami sempat kerepotan dari mana memulai dan mengakhiri? Apakah kami harus memulai dari masalah perpecahan umat, atau dari keterbelakangan ilmu penggetahuan dan teknologi, atau dari masalah kemiskinan dan puruknya perekonomian, atau dari semerawutnya pemikiran? Permasalahan-permasalahan dan musibah yang menimpah umat ini tentu mempunyai akar dan penyebab utama, yang bila akarnya teratasi maka yang lainnnya akan teratasi. Tenyata setelah kami perhatikan akar utama dari permasalahan-permasalahan ini adalah hal yang sangat tersembunyi yaitu kehilangan jati diri (Dziya’u Dzat)”.
Sedangkan yang dimaksud jati diri disini adalah pemahaman terhadab alam,hidup dan manusia yang semuanya telah dijelaskan oleh Al Qur`an.
EL QADRI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar